MafiaLahan Lambat Laju Pembangunan
KARAWANG-Kuasa
hukum PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP), Yuliana, gemas dengan lambatnya
penuntasan masalah sengketa tanah 350 hektar di Teluk Jambe yang
sebenarnya telah mendapatkan kepastian hukum sejak 2011.
Menurut Yuliana, proses eksekusi tanah saja sempat terlunta-lunta hingga lebih dari tiga tahun. "Sejak 25 Mei 2011 keputusan PK (Peninjauan Kembali) yang menetapkan status hukum tanah telah diputuskan MA, tapi baru 24 Juni 2014 lalu eksekusi berhasil dilaksanakan," kata Yuliana.
Yuliana yakin ada rekayasa pihak tertentu di balik bertele-telenya penyelesaian sengketa lahan yang sudah cukup lama berkekuatan hukum tetap itu. "Patut diduga, itu ulah mafia tanah yang menghasut dan mengintimidasi sebagian masyarakat untuk menolak putusan hukum," katanya lagi.
Menurut Yuliana, sebagian besar rakyat yang terkait telah mau menerima penyelesaian sengketa yang diupayakan sebelumnya. "Di lapangan, banyak ditemukan adanya ancaman kepada kalangan masyarakat yang bersedia menerima penyelesaian masalah," kata Yuliana.
Pernyataan Yuliana senada dengan yang dikatakan Ketua Pengadilan Negeri Karawang, Marsudin Nainggolan, yang mengatakan bahwa PT SAMP bersedia memberikan uang kerohiman Rp 40 juta, namun ada beberapa orang yang tidak setuju. "Mereka meminta ganti rugi dengan harga yang tinggi," kata Marsudin.
Indikasi lain yang memperkuat adanya mafia yang bermain, menurut Yuliana, adalah munculnya pemberitaan yang terlalu dibesar-besarkan. Misalnya, menyangkut kabar yang menyebutkan bahwa aparat kepolisian melakukan penembakan terhadap para petani dalam proses eksekusi. "Itu omongan yang memprovokasi media dan masyarakat untuk memperkeruh keadaan dan sangat menyesatkan, padahal kondisinya tidak demikian adanya" katanya.
Pihak kepolisian seperti disampaikan oleh Kapolres Karawang AKBP Daddy Hartadi juga telah membantah adanya tindakan represif dari aparat kepolisian terhadap warga. "Itu tidak betul dan menyesatkan," kata AKBP Daddy Hartadi.
Menurut Daddy, secara umum eksekusi lahan sengketa di Desa Margamulya, Desa Wanasari dan Desa Wanakerta, Kecamatan Telukjambe Barat yang dilakukan Pengadilan Negeri setempat berlangsung dengan aman dan kondusif. Ia menyatakan pihak kepolisian telah melakukan standar operasional prosedur pengamanan dalam mengawal eksekusi lahan sengketa di wilayah Telukjambe Barat. Bahkan pihaknya juga sudah melakukan mediasi kepada para pihak yang berperkara sebelum dilakukannya eksekusi lahan sengketa tersebut.
Yuliana yakin, seandainya tidak ada pihak tertentu yang memperkeruh keadaan, penyelesaian sengketa lahan 350 hektar di Teluk Jambe bisa lebih cepat diselesaikan. "Masyarakat sebenarnya mau kok menerima penyelesaian yang ditawarkan," katanya.
Yuliana menghimbau aparat penegak hukum dan media untuk mengusut dan membuka kedok para mafia tanah yang bermain di balik bertele-telenya penuntasan kasus ini. Menurutnya, ulah mafia tanah yang seperti ini bisa mengganggu masuknya investasi swasta untuk melakukan pembangunan di daerah. "Dampaknya, juga akan menghambat upaya penciptaan langan kerja di daerah dan efek multiplier lainnya yang sangat diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat," kata Yuliana.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejak 25 Mei 2011, melalui putusan PK, PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) telah mendapatkan kepastian hukum tetap atas tanah 350 hektar di Teluk Jambe. Sengketa lahan ini sendiri telah berlangsung selama belasan tahun. Dan, sejak keputusan awal di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi di Mahkamah Agung, hingga Peninjauan Kembali (PK) semuanya dimenangkan oleh PT. SAMP.
Meskipun telah mendapatkan kepastian hukum, eksekusi atas putusan PK tersebut sempat terlunta-lunta lebih dari 3 tahun. Akhirnya, setelah melalui beberapa proses dan upaya mediasi, pelaksanaan eksekusi berhasil dilaksanakan aparat penegak hukum, 24 Juni 2014 yang lalu.
Menurut Yuliana, proses eksekusi tanah saja sempat terlunta-lunta hingga lebih dari tiga tahun. "Sejak 25 Mei 2011 keputusan PK (Peninjauan Kembali) yang menetapkan status hukum tanah telah diputuskan MA, tapi baru 24 Juni 2014 lalu eksekusi berhasil dilaksanakan," kata Yuliana.
Yuliana yakin ada rekayasa pihak tertentu di balik bertele-telenya penyelesaian sengketa lahan yang sudah cukup lama berkekuatan hukum tetap itu. "Patut diduga, itu ulah mafia tanah yang menghasut dan mengintimidasi sebagian masyarakat untuk menolak putusan hukum," katanya lagi.
Menurut Yuliana, sebagian besar rakyat yang terkait telah mau menerima penyelesaian sengketa yang diupayakan sebelumnya. "Di lapangan, banyak ditemukan adanya ancaman kepada kalangan masyarakat yang bersedia menerima penyelesaian masalah," kata Yuliana.
Pernyataan Yuliana senada dengan yang dikatakan Ketua Pengadilan Negeri Karawang, Marsudin Nainggolan, yang mengatakan bahwa PT SAMP bersedia memberikan uang kerohiman Rp 40 juta, namun ada beberapa orang yang tidak setuju. "Mereka meminta ganti rugi dengan harga yang tinggi," kata Marsudin.
Indikasi lain yang memperkuat adanya mafia yang bermain, menurut Yuliana, adalah munculnya pemberitaan yang terlalu dibesar-besarkan. Misalnya, menyangkut kabar yang menyebutkan bahwa aparat kepolisian melakukan penembakan terhadap para petani dalam proses eksekusi. "Itu omongan yang memprovokasi media dan masyarakat untuk memperkeruh keadaan dan sangat menyesatkan, padahal kondisinya tidak demikian adanya" katanya.
Pihak kepolisian seperti disampaikan oleh Kapolres Karawang AKBP Daddy Hartadi juga telah membantah adanya tindakan represif dari aparat kepolisian terhadap warga. "Itu tidak betul dan menyesatkan," kata AKBP Daddy Hartadi.
Menurut Daddy, secara umum eksekusi lahan sengketa di Desa Margamulya, Desa Wanasari dan Desa Wanakerta, Kecamatan Telukjambe Barat yang dilakukan Pengadilan Negeri setempat berlangsung dengan aman dan kondusif. Ia menyatakan pihak kepolisian telah melakukan standar operasional prosedur pengamanan dalam mengawal eksekusi lahan sengketa di wilayah Telukjambe Barat. Bahkan pihaknya juga sudah melakukan mediasi kepada para pihak yang berperkara sebelum dilakukannya eksekusi lahan sengketa tersebut.
Yuliana yakin, seandainya tidak ada pihak tertentu yang memperkeruh keadaan, penyelesaian sengketa lahan 350 hektar di Teluk Jambe bisa lebih cepat diselesaikan. "Masyarakat sebenarnya mau kok menerima penyelesaian yang ditawarkan," katanya.
Yuliana menghimbau aparat penegak hukum dan media untuk mengusut dan membuka kedok para mafia tanah yang bermain di balik bertele-telenya penuntasan kasus ini. Menurutnya, ulah mafia tanah yang seperti ini bisa mengganggu masuknya investasi swasta untuk melakukan pembangunan di daerah. "Dampaknya, juga akan menghambat upaya penciptaan langan kerja di daerah dan efek multiplier lainnya yang sangat diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat," kata Yuliana.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejak 25 Mei 2011, melalui putusan PK, PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) telah mendapatkan kepastian hukum tetap atas tanah 350 hektar di Teluk Jambe. Sengketa lahan ini sendiri telah berlangsung selama belasan tahun. Dan, sejak keputusan awal di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi di Mahkamah Agung, hingga Peninjauan Kembali (PK) semuanya dimenangkan oleh PT. SAMP.
Meskipun telah mendapatkan kepastian hukum, eksekusi atas putusan PK tersebut sempat terlunta-lunta lebih dari 3 tahun. Akhirnya, setelah melalui beberapa proses dan upaya mediasi, pelaksanaan eksekusi berhasil dilaksanakan aparat penegak hukum, 24 Juni 2014 yang lalu.
Menurut
Ketua Pengadilan Negeri Karawang, Marsudin Nainggolan, kasus sengketa
lahan di wilayah Telukjambe, Kabupaten Karawang, yang melibatkan 48
orang warga dengan PT SAMP sudah dimenangkan oleh PT SAMP sejak putusan
Pengadilan Negeri Karawang tahun 2007. "PT SAMP telah memenangkan
perkara tersebut mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding hingga
kasasi," ujar Marsudin.(**)